Jumat, 30 November 2012

#2 Bidadariku


Hujanpun reda. Sepertinya awan sudah lelah meneteskan air matanya. Cuaca beberapa hari ini memanng sulit ditebak seperti suasana hatiku saat ini. Bayang-bayang gadis itu masih mengisi sebagian besar dari pikiranku. “Apakah gadis itu Dia? Dia yang pernah menghiasi hari-hariku dulu” ujarku dalam hati. Tak ku sadar aku duduk di gazebo ini selama 3 jam hanya untuk memikirkan gadis itu. “Argh…sudahlah apa gunanya aku memikirkan gadis itu” teriakku.

Aku ingat beberapa hari lalu, hari pertama masuk sekolah. Aku bertemu seorang gadis yang menarik perhatianku. Sebut saja namanya Angel. Dia cantik, rambutnya lurus, dan yang aku yakin dia anak seorang ‘pejabat’. Memang karna ia anak seorang pejabat, kehidupannya setingkat diatas  teman-temanku lainya. Setiap hari supir pribadinya setia mengantarkan dan menjemputnya setelah pulang sekolah. Dia memang cantik, tapi tak ada satupun cowok yang berani mendekatinya. Mungkin karna notabennya dia anak seorang ‘pejabat’. Tapi, aku merasa berbeda dari mereka. Aku merasa ingin lebih kenal dengannya.

“Hai..Angel ya..” sapaku lembut,
“Iya..kamu Rio kan..” jawabnya dengan sedikit senyum heran.

Mungkin itu adalah senyuman pertama yang aku dapatkan dari wajah manisnya. Sulit memang membuat gadis sepeti Angel tersenyum, hanya beberapa anak saja yang beruntung mendapatkan senyum terIndah darinya. Terlintas dibenakku “Apa aku suka dia? Kenapa kalau tak melihat senyumnya hariku terasa hambar?” “Argh…sudah lah, fikiran siapa lagi ini yang meracuniku” bentakku dalam hati.
Pulang sekolah, ku hidupkan laptopku untuk melanjutkan tugas yang ibu guru berikan beberapa hari lalu. Setelah tugas selesai aku iseng membuka jejaring sosial yang sedang ngetrend saat ini. Aku coba mencari-cari informasi tentang Angel. Aku menemukan satu akun jejaring social yang dimiliki oleh Angel. Disana tertera nama ‘Angel K Putri’ dengan foto profil yang membuatku semakin penasaran. Setelah beberapa jam ku ‘ublek-ublek’ akunnya itu aku tahu bahwa ia pernah suka pada seseorang tapi nampaknya rasa sukanya tidak terbalaskan. Sungguh, aku tidak mengada-ngada, aku tau semua itu dari status-statusnya yang menunjukan rasa sedih terlalu dalam.

Sejenak ku berfikir “Betapa bodohnya orang itu, dia telah menyia-nyiakan gadis secantik Angel. Apa kurangnya dari Angel, bagiku dia adalah ‘Sempurna’. Sempurna dilihat dari beberapa aspek, Sempurna dimataku”. Satu yang kusadari, aku mulai menyukainya, aku suka senyumnya, senyum manisnya. Tapi, bayang-bayang orang itu masih disimpan dalam dihati Angel. Membuatku semakin takut untuk lebih dekat dengannya. Dia adalah seorang gadis cantik yang mengharapkan balasan cinta dari seorang ‘pengemis tua’. 

Kadang ku berbicara pada diriku sendiri  “Andai saja aku menjadi orang yang kau harapkan, akanku berikan senyumku setiap hari, bila perlu setiap detik hanya untukmu seorang” “ataukah aku harus bertanya pada senyummu? senyummu yang terlihat manis itu terasa hampa dihatiku”

Bersambung...

Thanks to : @om_vengeance ^_^

Kamis, 29 November 2012

#1 Bidadariku


Semua berawal dari kejadian itu. Kejadian yang mungkin sulit untuk ku lupakan. Seorang ‘Bidadari’ jatuh tepat dihadapanku dan menyapaku lembut “Selamat pagi!”.  Ah..lupakan itu kejadian tempo hari yang membuatku gila karnanya.

Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku terbangun dari mimpiku. Entah suara apa yang sanggup memotong jalan mimpiku semalam. Aku beranjak dari tempat tidurku dan mecoba melihat seisi kamarku, hanya terlihat beberapa foto gadis-gadis cantik yang berpose ‘menggoda’. “Gadis..? Cantik..?” aku sejenak berfikir, “Memimpikan siapa aku ini tadi malam?”. Seketika secercas cahaya matahari pagi menembus celah-celah jendela kamarku . Perlahan ku buka jendela kamarku. Udara sejuk pagi menerpa tubuhku yang seakan member i ‘suntikan’ semangat padaku untuk mulai beraktifitas pagi ini.
Jam dinding menunjukan pukul 06.15 wib. Kukayuh sepedaku dengan perlahan. Sambil ku nikmati suasana damai pagi ini. Setelah ku rasa cukup menikmati indahnya pagi ini, aku mempercepat kayuhanku. Sesampainya dirumah aku parkirkan sepedaku di halaman belakang. Seperti biasa, pagi ini hanya ada bi imah pembantuku dan pak tejo tukang kebunku. Mereka tampak sibuk dengan pekerjaanya, mungkin faktor materi yang membuat mereka seperti itu. Ibu sibuk ngobrol dengan ibu-ibu komplek lainya di depan rumah, ayah sedang menikmati kopi panasnya dan ditemani surat kabar pagi ini. Aku rebahkan tubuhku di kasur singgasanaku ini. Terlintas dibenakku “Apa yang aku impikan semalam?” . Aku berdiri dan berjalan menuju foto gadis-gadis cantik yang sengaja ku taruh di dinding kamarku. “Apakah kamu secantik ini?, kurasa tidak, hanya beberapa bagian saja yang memang mirip denganmu..” ujarku dalam hati. Tak banyak orang yang tahu tentang diriku ini. Aku lebih suka sendiri dan menghindar dari kehidupan mereka. Tapi, bukan berarti aku tidak suka mereka. Hanya saja menjaga jarak agar indentitasku ini tidak terungkap.

Hari semakin siang, bi Imahpun tidak lupa membuatkan makan siang untukku dan sekeluarga. Sebelum aku selesai makan. Terdengar rintik-rintik hujan menjatuhi atap rumahku. Memang didaerahku sekarang sedang musim hujan. Jadi wajar kalau setiap hari jurun hujan. Selesai makan, aku ambil ponselku dan berlari menuju gazebo belakang rumah. Gazebo ini memang ayah buat untuk aku sekeluarga menikmati indahnya tetesan-tetesan air hujan. Disamping gazebo kami ,ada kolam ikan yang berisi beberapa ikan emas dan ikan koi. Mereka tampak meloncat-loncat bak ikan lumba-lumba yang kegirangan.
Seharian aku tidak mengecek ponselku ini. Beberapa pesan masuk dari teman-temanku. Mereka mengajakku untuk pergi main sore ini. Tapi, apadaya? “sore ini pasti hujan, lagian siapa yang mau main hujan-hujan?” jawabku kepada temanku. Bayang-bayang gadis itu seketika datang seperti hujan yang tidak ada habisnya. Pikiranku mulai goyah, aku tidak bisa berpikir jernih lagi, pikiranku saat ini bahkan tidak sejernih air kolam itu. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus bertanya pada hujan? Gadis cantik itu sudah meracuni pikiranku~

Bersambung…

[Lanjutan] Musibah 27 Mei "Kabar Duka dari Yogya"

Lanjutan


Gempa Susulan

Setelah situasi guncangan gempa tektonik dengan kekuatan 5,9 skala richter reda, aku dan istri serta kedua anak putraku masuk ke dalam rumah kembali. Kami berusaha memeriksa keadaan rumah. Ternyata, sebagian besar dinding tembok rumahku retak.

Semua barang dan perkakas rumah yang ada di dapur, berantakan. Pecahan piring dan gelas, berserakan dimana-mana. Beberapa ada yang melukai telapak kakiku. Maklum, kondisi di rumahkku saat itu lagi gelap-gulita. Sehingga, aku tidak sadar kalau kakiku telah menginjak pecahan gelas. Tapi tidak kugubris.

Kami kemudian masuk ke kamar. Aku melihat, tembok dinding kamarku juga pecah. Lemari pakaian tumbang. Beberapa foto yang diletakkan di dinding tembok, jatuh ke lantai. Tatkala aku dan istri akan beres-beres, ternyata bumi tempat kami berpijak masih menggeliat. Meski getarannya tidak begitu besar seperti yang pertama, namun efek dari gelombang getaran yang muncul kedua itu, justru membawa dampak sangat besar. Pasalnya, bersamaan dengan munculnya getaran yang kedua itu, tiba-tiba tembok dan atap rumahku roboh. "Gluduk-gluduk,....kraaak....krak...bruuug...piyar...!" Begitulah kurang lebih bunyi suara getaran bumi dan gesekan atap rumahku yang sempat kurekam dalam ingatanku waktu itu.

Walhasil, kami pun terkurung dalam timbunan atap rumah dan tembok kamar. Beberapa pecahan genting yang mendarat persis di umun-ubunku. Posisi kami saat itu betul-betul tidak bisa bergerak. Apalagi gelombang gempa kedua belum selesai. Getarannya masih terasa. Karenanya, aku berusaha memeluk dan mendekap istri serta anakku rapat-rapat agar tidak banyak melalukan gerakan.

Sebab, jika dalam posisi seperti itu mereka banyak bergerak, aku khawatir, lipatan tembok yang bertemu antar unjung tembok satu dengan tembok lainya, akan menimpa tubuh mereka. Maka itu, aku pasang badan untuk melindungi mereka. Untunglah, Tuhan Yang Sebenarnya masih melindungi nyawa kami sekeluarga. "Allahu Akbar..Allahu Akbar..!" aku berteriak histeris.

Yang jelas, waktu itu aku belum sadar kalau kepalaku bocor akibat terkena pecahan genting. Aku baru sadar kalau di kepalaku ada pecahan genting, setelah istri dan anakku berhasil keluar dari timbunan tembok kamar dan kerangka atap rumah kami. Untuk beberapa saat, aku cuma tertegun menyaksikan fenomena alam yang tak pernah terlintas dalam pikiranku.

Aku betul-betul tidak mengira, ternyata gempa susulan saat itu bakal meluluh-lantakkan semua bangunan rumahku. Apalagi jika dilihat dari aspek konstruksi bangunan yang memang dirancang untuk tahan gempa oleh salah satu teman arsitekku. Karena itu, ketika seluruh bangunan rumahkku roboh, aku jadi tercenung.

Dalam hati aku bertanya-tanya: "Jika rumah yang didesign tahan gempa saja bisa roboh diterjang gempa susulan yang skalanya lebih kecil dari gempa pertama, lalu bagaimana keadaan bangunan yang dibuat tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya gempa? Padahal, gempa pertama itu skalanya cukup tinggi?"

Semula aku sempat berburuk sangka kepada temanku yang telah kuberi kepercayaan untuk merancang sekaligus membangun rumahku. Pikiran kotor itu bertengger dalam otakku."Ini terjadi pasti karena temanku telah 'menyunat' anggaran dan bahan pokok untuk keperluan membangun rumahku, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan kontraktor ketika menangani proyek pemerintah. Akibatnya, bangunan yang dibuat tidak sesuai dengan perencanaan di atas kertas. Aku tidak terima. Nanti akan aku tuntut!" ujarku dalam hati.

Pikiran 'kotorku' menjadi buyar, setelah aku mendengar jerit tangis putra bungsuku yang berada di bawah tubuhku. Karena ruang tersisa dalam tumpukan bangunan tembok dan atap rumah yang menimpa kami sanagat terbatas, membuat aku tidak bisa berkutik. Aku menjerit minta pertolongan. Kurang lebih satu menit lamanya aku menjerit minta bantuan. Tapi, tidak ada tanda-tanda bakal datangnya bantuan dari orang yang ada disekitar tempat tinggalku.

Padahal, waktu itu, suasana relatif cukup sepi. Sehingga, aku yakib betul, jeritanku saat itu pasti terdengar dengan jelas oleh tetangga di sekitar tempat tinggalku. Apalagi orang yang bermukim di sekitarku tidak begitu banyak. Cuma 10 keluarga.

Ternyata pikiranku keliru. Belakangan aku baru tahu. Setelah berhasil berjuang keras membongkar tumpukan bangunan yang telah 'memenjara' kami saat itu, ternyata sebagian besar warga di dekat rumahku, telah meninggal dunia karena terkena runtuhan bangunan rumahnya masing-masing. Yang tersisa, hanya kami sekeluarga.

Bersambung....

Selasa, 27 November 2012

Musibah 27 Mei "Kabar Duka dari Yogya"

Firman R. Mazayasyah


Yap, ketemu sama gue, kali ini gue mau share ke kalian semua tentang sebuah buku yg "mungkin" bisa menggugah hati kalian semua untuk saling peduli sesama. Haha,, tinggi banget bahasa gue ya.. Sebenernya gue punya buku ini udah lama, tapi entah kenapa baru kali ini kepikiran untuk share ke kalian semua. Oke, gak perlu lama-lama, langsung aja simak ceritanya ^.^

"Toloooong ... Ada Lindhu!"

Yogyakarta, Sabtu pagi, 27 Mei 2006, pukul 05.00 wib. Aku bangun dari tidur, setelah lembur menyelesaikan tugas hingga pukul 03.00 wib. Seperti biasanya, sebelum mengambil air wudlu untuk shalat subuh, aku memandang langit. Pagi itu, langit di atas kota Yogyakarta, tidak seperti biasanya. Tak sedikitpun awan yang biasanya menggumpal. Langit terlihat begitu bening. Sekelompok burung camar dalam jumlah kecil, terbang membentuk formasi segitiga dari selatan menuju utara. Indah sekali.

Begitu juga keadaan gunung Merapi, yang berada di perbatasan Yogyakarta - Jawa Tengah, nampak begitu jelas. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, gunung yang sempat membuat masyarakat dunia jadi 'kesal' - karena ulahnya yang 'tidak umum' dan sulit diprediksi - itu, biasanya malu-malu memperlihatkan jati dirinya. Ia lebih senang menutupi dirinya dengan kabut tebal. Tapi, pagi itu, tubuh dan lekuk otot-ototnya terlihat sangat jelas. Mirip seorang binaragawan yang tengah 'memamerkan' keindahan tubuhnya di hadapan para penontonnya.

Setelah shalat subuh, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur busa yang ada di sampingku. Maklumlah, saat itu, tubuhku mengajak untuk melanjutkan waktu istirahatku yang baru berlangsung sekitar dua jam. Jarum jam dinding di tembok kamarku menunjukan pukul 05.10 wib. Sebelum merebahkan di atas kasur, kulihat kedua anakku yang masih berusia balita sedang tertidur lelap. Wajahnya begitu mempesona. Sedang istriku, selesai shalat subuh, langsung beres-beres. Setelah itu, ia mencuci pakaian di sumur belakang rumahku.

Anehnya, meski mataku terasa berat dan ingin segera tidur, namun pagi ini tubuhku tidak ingin segera menuju ke peraduan. Aku masih terpesona menatap wajah kedua anakku yang pagi itu memancarkan cahaya indah sekali. Tak henti-hentinya aku menciumi kening dan pipi mereka. Ketika jarum jam di tembok kamarku meunjuk ke angka 05.50 wib, barulah tubuhku berkenan untuk rebah persis di antara kedua putraku. Putra pertama disebelah kanan dan yang bungsu di sebelah kiriku.

Setelah rebah di atas kasur, entah beberapa detik kebudian, aku sudah tidak sadar lagi. Mataku terpejam dan pikiranku pun ikut istirahat. Bahkan, ketika aku sudah lelap tidur, aku tidak tahu kalau putra pertamaku telah bangun dari tidurnya. Pada saat itulah, tiba-tiba kasurku terasa diayun-ayun. Tubuhku seperti sedang digoyang-goyang. Tak lama setelah itu, mataku terbuka dan melihat bagaimana langit-langit di atas kamarku bergerak kesana-kemari.

Dalam hitungan detik berikutnya, aku bangkit dari kasur. Saat itulah, aku mendengar gemuruh suara tetangga di sekitar tempat tinggalku. Belakangan aku baru sadar, ternyata suara jeritan mereka itulah yang telah membangunkan aku dari tidur, "Toloooong...toloong...toloooooong...ada lindhu (gempa)" 

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong putra pertamaku, Aku berusaha membawanya keluar dari rumah menuju tempat aman. Tapi usahaku nyaris menemui kebuntuan. Pasalnya, dalam kondisiku sedang blank karena pengaruh bangun tidur yang dipaksaan saat itu, aku tidak lagi memikirkan bagaimana peta bangunan rumahku. Yang ada dalam pikiranku cuma satu: Bagaimana caranya agar aku dan anak-anak bisa keluar dari rumah? Aku tidak sempat lagi berpikir bagaimana kondisi istriku saat itu.

Dengan berjuang keras melawan goncangan dahsyat yang timbul akibat gempa tektonik dengan kekuatan 5,9 skala richter, aku berusaha membuka kunci pintu rumahku. Tapi, setiap kali tanganku mencoba menggapai tangkai kuncinya, tubuhku terpelanting kesana-kemari. Aku nyaris putus asa. Tapi, anehnya,meski tubuhku terlempar dan terjerembab, semangat untuk keluar mencari posisi aman, semakin menguat hingga akhirnya aku berhasil membuka paksa pintu rumahku.

Saat akan keluar dari rumah, tiba-tiba istriku datang dari arah dapur sambil berlari-lari membawa pakaian yang akan dia jemur. Dia kemudian mengikuti gerakkanku dari belakang menuju halaman depan rumah. Aku baru sadar kalau putra bungsuku masih berada di dalam kamar, setelah aku, istri dan putra pertamaku berada diluar rumah. Tadinya aku pikir, yang dipegang istriku saat itu adalah putra bungsuku. Ternyata baju yang akan dia jemur.

Seketika itu juga, aku lari masuk kedalam rumah guna mengevakuasi putra bungsuku yang masih tidur lelap. Aku lagi memperhitungkan rasa takut dan cemas akibat goncangan bumi yang makin dahsyat. Saat berada di ruang tengah, aku sempat panik. Pasalnya, lampu listrik yang menerangi ruang tengah dan kamarku mendadak padam. Penglihatanku jadi terganggu karen kondisi ruang gelap-gulita.

Syukurnya, Tuhan Yang Sebenarnya masih berkenan menuntun gerak reflek tubuhku dan penglihatanku. Sehingga, putra bungsuku berhasil ku evakuasi ke lokasi yang lebih aman. Terima kasih Tuhan. Engkau telah menyelamatkan kami sekeluarga.

Bersambung....

Senin, 26 November 2012

Sword Art Online Jilid 1 Bab 3


BAB 3

Ding, ding, Sebuah suara seperti bel , atau mungkin sebuah bel peringatan, terdengar dengan keras, membuatku dan Klein melompat karena kaget.
“Ah…”
“Apa ini!?”
Kamu berteriak bersamaan dan melihat satu sama lain, kedua mata kami terbuka lebar.
Klein dan aku diselimuti oleh pilar cahaya berwarna biru terang. Di balik cahaya biru itu, padang rumput di penglihatanku perlahan-lahan menjadi kabur.
Aku pernah mengalami ini beberapa kali selama beta testing. Ini adalah «Teleport» yang dapat dilakukan dengan menggunakan sebuah item. Aku tidak punya item yang dibutuhkan dan aku juga tidak meneriakkan perintah yang seharusnya diucapkan. Apakah operator nya melakukan teleport paksa? Jika begitu, kenapa mereka tidak memberitahu kami?
Ketika aku sedang berpikir, cahaya di sekelilingku bergetar semakin keras dan kegelapan menyelimutiku.
Saat cahaya birunya memudar, sekelilingku menjadi jelas lagi. Tapi, ini bukan padang rumput yang memantulkan cahaya matahari terbenam lagi.
Sebuah jalan besar yang terbuat dari batu. Jalan abad pertengahan yang dikelilingi oleh lampu jalan dan istana besar yang memancarkan sinar gelap terlihat di kejauhan.
Ini adalah starting point, central plaza dari «Kota Awal».
Aku melihat kearah Klein yang membuka mulutnya lebar-lebar disampingku. Lalu kearah kerumunan orang yang berada di sekeliling kami.
Melihat ke sekumpulan orang yang sangat cantik dan tampan dengan equipment dan warna rambut yang bervariasi, tidak salah lagi mereka adalah player lain sepertiku. Ada sekitar berapa ribu hingga sepuluh ribu orang disini. Sepertinya semua orang yang sedang log on saat ini dipaksa teleport ke central plaza.
Selama beberapa detik, semua orang hanya melihat sekeliling tanpa mengatakan apapun.
Lalu ada beberapa bisikan dan kata-kata yang terdengar disana-sini; perlahan-lahan semakin berisik.
“Apa yang terjadi?"
“Bisakah kita log out sekarang?”
“Bisakah mereka memperbaikinya lebih cepat?”
Komentar-komentar seperti itu bisa terdengar dari waktu ke waktu.
Ketika para player mulai kehilangan kesabaran, teriakan-teriakan seperti “Apa ini bercanda?” dan “Keluar kalian, GM!” dapat terdengar.
Lalu tiba-tiba.
Seseorang berteriak dengan suara yang lebih keras dari suara-suara itu.
“Ah…lihat keatas!”
Klein dan aku hampir secara otomatis mengarahkan mata kami keatas dan melihat. Ada pemandangan aneh yang menyambut kami.
Di permukaan bagian bawah lantai dua, seratus meter diatas udara, terdapat tanda silang berwarna merah.
Ketika aku melihat dengan lebih jelas, aku bisa melihat kalau itu adalah dua kata yang saling bersilangan. Kata-kata yang satunya adalah [Warning] dan yang satu lagi adalah [System Announcement].
Aku terkejut selama sesaat tapi kemudian berpikir 'Oh, operatornya mulai menginformasikan kita sekarang', dan mengendurkan bahuku sedikit. Pembicaraan di plaza menjadi sunyi dan kau bisa merasakan kalau semua orang menunggu kata selanjutnya yang akan keluar.
Tapi, apa yang terjadi selanjutnya tidak seperti apa yang kubayangkan.
Dari tengah pola itu, sebuah cairan yang seperti darah mulai mengalir turun perlahan-lahan. Cairan itu turun dengan kecepatan pelan seperti menggambarkan sebarapa kentalannya cairan itu; Tapi cairan itu tidak jatuh kebawah, malah mulai berubah ke bentuk yang lain.
Apa yang muncul adalah pria setinggi 20 meter yang mengenakan jubah berkerudung yang menutupi tubuhnya.
Tidak, itu tidak terlalu tepat. Dari tempat kami melihat, kami bisa dengan mudah melihat kedalam tudungnya-tidak ada wajah disana. Benar-benar kosong. Kami bisa melihat dengan jelas bagian dalam bajunya dan sulaman hijau didalam tudungnya. Didalam jubahnya pun sama, yang bisa kami lihat hanyalah bayangannya saja.
Sword Art Online Vol 01 - 043.jpg
Aku pernah melihat jubah itu sebelumnya. Itu adalah baju yang selalu digunakan pegawai Argas yang bekerja sebagai GM. Tapi semua GM pria mempunyai wajah seperti seorang penyihir tua dengan janggut panjang, dan Yang wanita mempunyai avatar wanita berkacamata. Mereka mungkin menggunakan jubah itu karena kurangnya waktu untuk menyiapkan avatar yang layak, tapi tempat kosong dibalik tudungnya memberikanku perasaan gelisah yang tidak bisa dijelaskan.
Para player di sekelilingku pasti merasakan hal yang sama.
“Apa itu GM?”
“Kenapa dia tidak punya wajah?”
Banyak bisikan seperti itu yang bisa terdengar.
Lalu tangan kanan dari jubah besar itu bergerak seperti untuk mendiamkan mereka.
Sebuah sarung tangan putih bersih muncul dari lipatan panjang lengan bajunya. Tapi lengan baju itu, seperti bagian lain dari jubahnya, tidak terhubung dengan bagian tubuh manapun.
Lalu tangan kirinya perlahan-lahan terangkat keatas juga. Kemudian dengan dua sarung tangan kosong yang terbentang di depan 10 ribu player, orang tak berwajah itu mulai membuka mulutnya—tidak, terasa seakan-akan dia melakukannya. Kemudian sebuah suara pria yang tenang dan pelan terdengar bergema dari ketinggian.

‘Para Player sekalian, aku menyambut kalian semua kedalam dunia ku'

Aku tidak bisa segera mengerti.
«Duniaku»? Jika orang berjubah merah itu adalah seorang GM, maka dia memang punya kekuatan seperti dewa di dunia ini, yang mengizinkannya mengubah dunia ini sesukanya, tapi kenapa dia mengatakannya sekarang?
Klein dan aku melihat satu sama lain kebingungan. Orang berjubah merah tanpa nama itu menurunkan kedua tangannya dan melanjutkan perkataannya.

‘Namaku adalah Kayaba Akihiko. Sekarang ini, akulah orang satu-satunya yang bisa mengendalikan dunia ini.’

“Apa…!?”
Avatarku menjadi kaku karena shock, dan tenggorokanku, dan mungkin leherku di dunia nyata juga, berhenti bekerja selama beberapa detik.
Kayaba—Akihiko!!
Aku tahu nama itu. Tidak mungkin aku tidak tahu.
Orang ini adalah seorang game designer dan seorang genius di bidang quantum physics, orang yang membuat Argas, yang beberapa tahun lalu hanyalah satu dari banyak perusahaan kecil lainnya, menjadi salah satu perusahaan yang bisa mengatur perekonomian dunia.
Dia merupakan direktur pengembangan SAO dan pada saat yang sama, pendesain Nerve Gear.
Sebagai salah seorang hardcore gamer, aku sangat menghormati Kayaba. Aku membeli seluruh majalah yang menceritakan tentang dia dan telah membaca beberapa wawancaranya hingga aku hampir hapal isinya. Aku hampir bisa membayangkan dia mengenakan baju putihnya yang selalu dia gunakan hanya dengan mendengar suaranya.
Tapi dia selalu berdiri dibalik layar, menolak tampil di depan media; dia tidak pernah menjadi GM sebelumnya-jadi kenapa dia melakukan sesuatu seperti ini?
Aku berusaha berpikir lagi untuk mengerti situasinya. Tapi kata-kata yang keluar dari orang itu terdengar seperti ejekan bagiku yang sedang berusaha untuk mengerti.
‘Kupikir hampir semua orang telah menyadari kalau tombol logout telah menghilang dari main menu. Itu bukanlah bug, itu adalah bagian dari sistem «Sword Art Online».’
“Bagian dari…sistemnya?”
Klein bergumam, suaranya terbata-bata. Pengumumannya berlanjut dengan suara yang pelan seperti untuk menyembunyikan suara aslinya.
‘Hingga kalian mencapai ke lantai teratas dari kastil ini, kalian tidak bisa log out.’
Kastil ini? Awalnya aku tidak mengerti kata tersebut. Tidak ada kastil di «Kota Awal».
Lalu kata-kata selanjutnya yang di katakan Kayaba menghilangkan semua kebingunganku.
‘…selain itu, dilarang menghentikan atau melepas Nerve Gear dari luar. Jika hal-hal seperti itu dilakukan…’
Sunyi.
Kesunyian diantara sepuluh ribu orang ini sangat menekan. Kata-kata selanjutnya keluar secara perlahan-lahan.
‘Pengirim sinyal di Nerve Gear mu akan mengirimkan sebuah gelombang elektromagnetik yang kuat, menghancurkan otakmu dan menghentikan semua fungsi tubuhmu.’
Klein dan aku melihat satu sama lain dalam keadaan shock selama beberapa detik.
Pikiranku seakan-akan menolak untuk mempercayai apa yang baru saja kudengar. Tapi pernyataan singkat yang dikatakan Kayaba menusuk ke pikiranku.
Menghancurkan otak kami.
Dengan kata lain, membunuh kami.
Pengguna manapun yang mematikan Nerve Gear atau membuka kunci pengaman dan melepaskannya akan terbunuh. Itulah apa yang baru saja Kayaba maksudkan.
Orang-orang di keramaian mulai bergumam, tapi tidak ada satupun yang berteriak atau panik. Tidak ada seorangpun, sama halnya denganku, yang bisa mengerti ataupun memprotesnya.
Klein mengangkat tangannya perlahan-lahan dan mencoba untuk memegang head gear yang seharusnya berada di sana di dunia nyata. Ketika dia melakukannya, dia mengeluarkan tawa kecil dan mulai berbicara.
“Haha…Apa yang dia katakan? Pria itu, apa dia gila? Omongannya tidak masuk akal. Nerve Gear… Ini hanya game. Menghancurkan otak kita…Bagaimana dia bisa melakukannya? Benar kan, Kirito?”
Suaranya terbata-bata di bagian akhir. Klein menatapku dengan serius, tapi aku tidak bisa mengangguk setuju.
Pengirim sinyal di dalam helm Nerve Gear mengirimkan gelombang elektronik untuk mengirimkan sinyal virtual ke dalam otak.
Mereka menyebut ini sebagai ultra teknologi terbaru, tapi teori dasar penggunaannya sama dengan barang elektronik yang sudah ada sejak 40 tahun yang lalu di jepang, microwave.
Jika listriknya mencukupi, mungkin saja Nerve Gear nya bisa menggetarkan partikel air yang ada di dalam otak kami dan membakarnya dengan panas yang dihasilkan. Tapi…
“…secara teori, itu mungkin, tapi dia pasti hanya menggertak. Karena jika kita mencabut kabel Nerve Gear, tidak mungkin itu dapat mengirimkan gelombang sekuat itu. Kecuali ada sejenis baterai yang punya kapasitas penyimpanan yang cukup besar…didalam…”
Klein mungkin sudah bisa mengira alasan kenapa aku berhenti berbicara.
“Ada…satu,” katanya, kata-katanya hampir seperti sebuah teriakan dengan ekspresi kosong diwajahnya. “30% dari berat gearnya berasal dari baterainya. Tapi…itu benar-benar gila! Bagaimana jika tiba-tiba terjadi mati listrik atau sejenisnya!?”
Kayaba mulai menjelaskan, seperti dia telah mendengar apa yang Klein teriakkan.
‘Untuk lebih jelasnya, pemindahan sumber tenaga listrik untuk 10 menit, terputus dari server lebih dari dua jam, atau pencobaan untuk membuka kunci, mematikan, atau merusak Nerve Gear. Jika salah satu dari kondisi itu terpenuhi, proses penghancuran otak akan dimulai. Syarat-syarat itu telah diberitahukan kepada pemerintah dan kepada masyarakat lewat seluruh media di dunia luar. Untuk catatan, sudah ada beberapa kasus dimana ada keluarga atau teman yang mengabaikan peringatannya dan mencoba dengan paksa melepaskan Nerve Gear. Hasilnya—’
Kata-katanya berhenti sesaat.
‘—sayangnya 213 player sudah keluar dari dunia ini, dan dunia nyata untuk selamanya.’
Sebuah teriakan yang panjang dan tipis bisa terdengar. Tapi sebagian besar dari player masih belum bisa mempercayai atau menolak untuk mempercayai apa yang baru saja dikatakan dan hanya berdiri saja dengan wajah yang pucat dan mulut yang terbuka atau senyuman miris di wajah mereka.
Pikiranku mencoba menolak mempercayai apa yang baru saja dikatakan oleh Kayaba. Tapi tubuhku mengkhianatinya dan lututku mulai bergetar dengan kuat.
Aku tersandung kebelakang beberapa langkah dengan lututku yang lemah dan berhasil mencegah diriku jatuh. Tapi Klein terjatuh kebelakang dengan wajah tanpa ekspresi.
213 player telah meninggalkan dunia ini.
Kalimat itu terus menerus berulang di dalam kepalaku.
Jika yang dikatakan Kayaba benar-lebih dari 200 orang telah meninggal saat ini?
Beberapa dari mereka mungkin saja ada beta tester sepertiku. Aku mungkin telah mengenal beberapa dari nama karakter dan avatar mereka. Orang-orang itu telah terbakar otaknya dan…mati, apa ini yang Kayaba telah katakan?
“…dak percaya… Aku tidak percaya.”
Klein, yang masih duduk di lantai, mulai berbicara dengan suara yang kaku.
“Dia hanya mencoba menakuti kita. Bagaimana mungkin dia bisa melakukan hal seperti itu? Berhenti bercanda dan biarkan kami keluar dari sini. Kami tidak punya waktu untuk mengikuti upacara pembukaan mu yang gila ini. Yeah…ini semua hanyalah sebuah event. Sebuah pertunjukan pembuka, kan?”
Didalam kepalaku, aku meneriakkan hal yang sama.
Tapi seperti untuk menghilangkan harapan kami, suara Kayaba yang seperti seorang pebisnis meneruskan penjelasannya.
‘Para Player, kalian tidak perlu mengkhawatirkan tubuh yang kalian tinggalkan di luar sana. Saat ini, seluruh media TV, radio, dan internet sedang melaporkan situasi ini berulang kali, termasuk kenyataan bahwa sudah ada beberapa korban jiwa. Kemungkinan Nerve Gear kalian terlepas sudah menghilang. Sebentar lagi, menggunakan dua jam yang kuberikan, kalian semua akan di pindahkan ke rumah sakit atau tempat-tempat seperti itu untuk mendapatkan perawatan terbaik. Jadi kalian bisa tenang…dan berkonsentrasi untuk menaklukkan game nya.’
“Apa…?”
Lalu, akhirnya mulutku mulai berteriak dengan keras.
“Apa yang kau katakan!? Menaklukkan game nya!? Kau ingin kami bermain di situasi seperti ini!?”
Aku terus berteriak, menatap kearah jubah merah yang meresap kedalam permukaan dasar lantai atas.
“Ini bukan game lagi!!”
Lalu Kayaba Akihiko mulai mengumumkan perlahan dengan suaranya yang monoton.
‘Tapi aku ingin kalian semua mengerti bahwa «Sword Art Online» bukanlah sebuah game biasa lagi. Ini adalah dunia nyata yang kedua. …mulai sekarang, segala jenis revival didalam game tidak akan bekerja lagi. Disaat HP mu mencapai angka 0, avatar mu akan menghilang selamanya, dan pada saat yang sama—’
Aku bisa menebak apa yang akan dia katakan dengan sangat jelas.
‘Otakmu akan dihancurkan oleh Nerve Gear.’
Tiba-tiba, rasa ingin tertawa menggelembung di dasar perutku. Aku menahannya.
Sebuah garis horizontal panjang bersinar di bagian kiri atas penglihatanku. Ketika aku memfokuskan pandanganku kearahnya, angka 342/342 dapat terlihat.
Hit points. Nyawaku.
Saat itu mencapai nol, Aku akan mati—sinyal gelombang elektromagnetik akan membakar otakku, membunuhku seketika. Inilah yang telah Kayaba katakan.
Tidak salah lagi ini adalah sebuah game, sebuah game dengan nyawamu sebagai taruhannya. Dengan kata lain, sebuah game kematian.
Aku pasti telah mati setidaknya 100 kali dalam dua bulan beta testing. Aku direspawned dengan sedikit senyum malu di wajahku di bagian utara dari main plaza, di «Black Iron Palace», dan berlari ke arah tempat perburuan lagi.
Itulah RPG, sebuah game dimana kau berkali-kali mati dan belajar dan menaikkan level. Tapi sekarang kau tidak bisa? Sekali kau mati, kau akan kehilangan nyawamu? Dan sebagai tambahan—kau bahkan tidak bisa berhenti bermain?
“…tidak mungkin,” Aku berkata dengan pelan.
Siapa yang mau pergi ke tempat perburuan dengan kondisi seperti itu? Tentu saja semua orang hanya akan menetap di dalam kota di tempat yang aman.
Lalu seperti membaca pikiran ku, dan mungkin pikiran semua player lain, pengumuman berikutnya diberikan.
‘Para player, hanya ada satu cara untuk keluar dari game ini, seperti yang kubilang sebelumnya, kalian harus memcapai lantai teratas dari Aincrad, lantai keseratus dan mengalahkan boss terakhir yang ada disana. Semua player yang masih hidup pada saat itu akan secara otomatis keluar dari game ini. Aku sudah mengatakan pada kalian semua yang perlu kukatakan.’
Sepuluh ribu orang player berdiri terdiam.
Itulah saat dimana aku menyadari apa yang dimaksud Kayaba ketika dia mengatakan «capailah lantai teratas dari kastil ini». Kastil ini—berarti tempat luas yang memenjarakan seluruh player di lantai pertama dan 99 lantai lainnya yang ada diatas, bertumpuk hingga ke langit dan melayang diatasnya. Dia membicarakan Aincrad itu sendiri.
“Menaklukan…seluruh 100 lantai!?” Klein tiba-tiba berteriak. Dia cepat-cepat berdiri dan mengangkat tinjunya ke atas langit.
“Bagaimana mungkin kami melakukannya? Kudengar menaiki satu lantai saja sangat sulit selama beta testing!”
Itu benar. Selama dua bulan beta testing, seribu orang player hanya bisa mencapai lantai keenam. Bahkan jika ada sepuluh ribu orang yang log in, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melewati 100 lantai?
Kebanyakan player yang dipaksa berada disini bertanya-tanya akan pertanyaan-yang tidak ada jawabannya ini.
Kesunyian menegangkan ini perlahan-lahan menunjukan gumaman pelan. Tapi tidak ada tanda-tanda dari ketakutan dan rasa putus asa.
Sebagian orang disini masih bingung apakah ini benar-benar «bahaya nyata» atau sebuah «event pembukaan yang sangat dibuat-buat». Semua yang dikatakan Kayaba terlalu menakutkan hingga terasa tidak nyata.
Aku mengadahkan kepalaku lagi untuk melihat ke arahnya dan moncoba untuk memaksakan pikiranku menerima situasi ini.
Aku tidak bisa log out lagi, selamanya. Aku juga tidak bisa kembali ke kamarku dan kehidupanku. Satu-satunya cara untuk bisa kembali adalah jika seseorang mengalahkan boss di lantai tertinggi dari kastil terbang ini. Jika HP mencapai angka nol meski sekali saja sebelum itu—aku akan mati. Aku akan benar-benar mati dan akan menghilang selamanya.
Tapi...
Betapapun aku mencoba menerima kenyataan, ini mustahil. Hanya sekitar lima atau enam jam lalu aku masih makan makanan buatan ibuku, berbicara sedikit dengan saudara perempuanku, dan berjalan didalam rumahku.
Sekarang aku tidak bisa kembali ke tempat itu lagi? Dan saat ini, ini adalah dunia nyata yang sebenarnya?
Lalu, ketika jubah merah yang sejak tadi berada di depan kami mengibaskan sarung tangan kanannya dan mulai berbicara dengan suara yang tidak memiliki emosi sama sekali.
‘Kalau begitu biar kutunjukkan bukti kalau ini adalah kenyataan. Di dalam inventorimu akan ada hadiah dariku. Ambillah.’
Segera setelah mendengarnya, aku menekan jari telunjuk ku dan jempol ku bersamaan dan menarik nya kebawah. Semua player melakukan hal yang sama dan plaza dipenuhi oleh suara gemerincing bel.
Aku menekan tombol item di menu yang baru saja muncul dan ada item disana, di bagian teratas dari daftar barang-barangku.
Nama itemnya adalah—«Hand Mirror»
Kenapa dia memberi kami benda ini? Sambil berpikir aku menyentuh nama bendanya dan menekan tombol "buat benda menjadi object". Segera setelahnya terdengar sebuah sound effect dan sebuah kaca persegi berukuran kecil muncul.
Aku memegangnya dengan ragu-ragu tapi tidak ada apapun yang terjadi. Apa yang muncul di dalam cermin adalah wajah dari avatar yang kubuat dengan susah payah.
Aku memiringkan kepalaku dan melihat ke arah Klein. Dia juga melihat ke cermin dengan wajah yang tanpa ekspresi.
—Lalu.
Tiba-tiba Klein dan avatar-avatar di sekeliling kami diselimuti oleh cahaya putih. Segera setelah melihatnya, aku juga dikelilingi cahaya yang sama, dan apa yang bisa kulihat hanyalah warna putih.
Sekitar 2, 3 detik kemudian, sekelilingku menjadi jelas lagi seperti mereka baru saja…
Tidak.
Wajah di depanku bukanlah wajah yang kukenal.
Armor yang terbuat dari besi yang dijahit, bandana, dan rambut merah berdurinya sama. Tapi wajahnya berubah ke bentuk yang lain. Matanya yang tajam berubah menjadi cekung dan berwarna lebih terang. Hidungnya yang mancung menjadi sedikit pesek, dan muncul janggut di pipi dan dagunya. Jika avatarnya adalah seorang samurai yang masih muda dan ceria, maka yang ini adalah seorang warrior yang telah kalah—atau mungkin seorang perampok.
Aku lupa akan situasinya selama beberapa saat dan berkata.
“Siapa…kau?”
Kata yang sama terdengar dari mulut orang yang berada didepanku.
“Hey…siapa kau?”
Lalu tiba-tiba menyadari apa guna hadiah Kayaba, «Hand Mirror» yang sedang kupegang.
Aku buru-buru mengangkat kacanya, dan melihat muka yang terpantul.
Rambut hitam yang rapi diatas kepala, sepasang mata yang kelihatan lemah dapat terlihat dibalik rambut yang agak panjang, dan wajah yang orang-orang bisa salah lihat dan menganggapku sebagai wanita ketika aku pergi keluar dengan menggunakan pakaian bebas bersama saudara perempuan ku.
Wajah tenang dari warrior «Kirito» yang baru beberapa detik yang lalu masih ada telah menghilang. Wajah yang terpantul di cermin—
Adalah wajah asliku yang susah-payah ku sembunyikan.
“Ah…wajahku…”
Klein, yang juga sedang memandangi cerminnya terjatuh kebelakang. Kami berdua melihat satu sama lain dan berteriak disaat yang sama.
“Kau Klein!?” “Kau Kirito!?"
Sword Art Online Vol 01 - 057.jpg
Suara kami juga berubah, mungkin pengubah suaranya berhenti bekerja. Tapi kami tidak punya waktu untuk memikirkan hal seperti itu.
Cerminnya terjatuh dari tangan kami dan mengenai lantai, dan hancur dengan suara pecahan yang agak keras.
Ketika aku melihat sekeliling lagi, kerumunannya sudah tidak lagi dipenuhi oleh orang yang terlihat seperti karakter dari game-game fantasi. Sekumpulan anak muda normal sudah menggantikan tempat mereka. Ini seperti melihat sekumpulan orang di dunia nyata di sebuah perkumpulan game yang menggunakan kostum seperti armor. Bahkan perbedaan jumlah laki-laki dan perempuannya berubah drastis.
Bagaimana ini mungkin terjadi? Klein dan aku, dan mungkin semua player di sekitar kami telah berubah dari avatar yang mereka buat dari awal, menjadi diri asli kami. Tentu saja, teksturnya sendiri masih terlihat seperti model poligon dan masih sedikit terasa aneh, tapi yang paling menakutkan adalah keakuratannya. Seakan-akan gearnya punya sebuah full body scanner yang terpasang.
—Scan.
“…ah, benar!” Aku melihat kearah Klein dan memaksakan suaraku untuk keluar.
“Ada pengirim sinyal di Nerve Gear yang menutupi seluruh kepala kita. Jadi itu tidak hanya bisa melihat cara berpikir otak kita, tapi wajah kita juga…”
“Ta-Tapi, bagaimana bisa mesin itu tahu bagaimana bentuk tubuh kita terlihat… Seperti seberapa tinggi kita?”
Klein berkata sambil diam-diam melihat ke sekitar kami.
Rata-rata tinggi dari player, yang sedang melihat diri mereka sendiri dan orang lain dengan berbagai ekspresi, sangat terlihat berkurang setelah «perubahan» tadi. Aku—dan mungkin Klein juga-telah mensetting tinggi kami agar sesuai dengan tinggi asliku di dunia nyata untuk menghindari tinggi yang berlebihan yang bisa menghambat gerakanku, tapi hampir semua player sepertinya membuat diri mereka lebih tinggi sekitar sepuluh hingga dua puluh cm. Bukan hanya itu, bentuk dan lebar tubuh para player juga menjadi lebih besar sekarang. Tidak mungkin Nerve Gear bisa mengetahui semua ini.

Tapi Klein menjawab pertanyaan ini.
“Ah…tunggu. Aku baru membeli Nerve Gear kemarin jadi aku masih ingat, ada bagian dari set-up…apa yah disebutnya, pengukuran? Yah apapun itu, saat itu kau disuruh menyentuhkan nya ke bagian tubuhmu di sana-sini, mungkin itu…?”
“Ah, benar……pasti itu…”
Pengukuran adalah saat dimana Nerve Gear mengukur «seberapa jauh tanganmu bisa menggapai tubuhmu». Ini dilakukan untuk menciptakan perasaan yang lebih nyata didalam game. Jadi bisa dibilang kalau Nerve Gear punya data mengenai bentuk asli tubuh kita yang tersimpan di dalamnya.
Itu mungkin untuk membuat semua avatar para player menjadi replika yang sama persis dengan diri mereka. Tujuan dari semua ini juga menjadi jelas sekarang.
“…kenyataan,” aku bergumam. “Dia bilang ini adalah kenyataan . Avatar yang terbuat dari poligon ini…dan HP kita adalah tubuh dan kehidupan asli kita. Untuk membuat kita percaya kalau dia menciptakan tiruan sempurna dari kita…”
“Tapi…tapi kau tahu Kirito.”
Klein menggaruk kepalanya dengan kasar dan matanya memantulkan sinar saat dia berteriak.
“Kenapa? Kenapa dia melakukan hal seperti ini…?”
Aku tidak menjawabnya dan menunjuk keatas.
“Tunggu saja. Mungkin dia akan menjawab pertanyaan itu sebentar lagi.”
Kayaba memenuhi harapanku. Beberapa detik kemudian, sebuah suara yang terdengar serius, terdengar dari langit yang berwarna merah darah.
‘Kalian pasti heran dan berpikir ‘kenapa’. Kenapa aku-pencipta dari Nerve Gear dan SAO, Kayaba Akihiko-melakukan sesuatu yang seperti ini? Apakah ini sejenis serangan teroris? Apakah dia melakukan ini untuk meminta uang tebusan untuk membebaskan kami?’
Itulah saat ketika suara Kayaba, yang hingga sekarang tanpa emosi, mulai menunjukkan sedikit emosi di dalamnya. Tiba-tiba kata «empati» terpikir oleh ku, meski tidak mungkin itu terjadi.
‘Itu semua bukanlah alasanku melakukan ini. Bukan hanya itu, searang bagiku, sudah tidak ada alasan untuk melakukan ini. Alasannya karena…situasi ini sendiri lah yang merupakan alasanku melakukan ini. Untuk membuat dan mengamati dunia ini adalah satu-satunya alasanku membuat Nerve Gear dan SAO. Dan sekarang, semuanya telah menjadi nyata.’
Lalu setelah istirahat singkat, suara Kayaba sekarang menjadi tanpa emosi lagi dan berkata.
‘…sekarang aku telah menyelesaikan official tutorial dari «Sword Art Online». Para Player—semoga kalian beruntung.’
Kata-kata terakhirnya diikuti oleh suara bergema kecil.
Jubah besar itu mulai melayang lebih tinggi tanpa bersuara, dan mulai menyelam, dari kepalanya, kedalam system message yang menutupi langit seakan-akan meleleh.
Bahunya, kemudian dadanya, lalu kedua tangan dan kakinya bergabung kedalam permukaan merah, dan terakhir sebuah noda merah yang tersisa menghilang. Segera sesudahnya system message yang telah menutupi langit menghilang dengan tiba-tiba seperti saat itu muncul.
Suara dari angin yang bertiup di atas plaza dan BGM dari orkestra NPC terdengar perlahan di telinga kami.
Game telah kembali ke keadaan normal, kecuali beberapa peraturan yang baru saja diubah.
Lalu—akhirnya.
Kerumunan dari 10 ribu player tadi mulai memberikan reaksi yang wajar.
Dengan kata lain, ribuan suara mulai terdengar dengan keras di seluruh plaza.
“Itu bercanda kan…? Apa-apaan itu? Itu lelucon kan!?”
“Berhenti bercanda! Biarkan aku keluar! Biarkan aku keluar dari sini!”
“Tidak! Kau tidak bisa melakukan ini! Aku harus segera bertemu dengan seseorang sebentar lagi!”
“Aku tidak suka ini! Aku mau pulang! Aku mau pulang!!!!!!”
Pekikan. Tuntutan. Teriakan. Kutukan. Permohonan. Dan jeritan.
Orang-orang yang telah berubah dari game player menjadi tahanan dalam hitungan menit berlutut dan memegangi kepala mereka, melambaikan tangan mereka, memegang satu sama lain atau mulai menyumpahi dengan suara yang keras.
Di tengah-tengah semua suara ini, anehnya pikiranku menjadi jernih lagi.
Ini, adalah kenyataan.
Apa yang dinyatakan Kayaba Akihiko semuanya benar. Kalau begitu, ini sudah pasti terjadi. Itu akan aneh jika tidak. Kejeniusan adalah satu sisi dari Kayaba yang membuatnya terlihat menarik.
Sekarang aku tidak bisa kembali ke dunia nyata selama beberapa waktu—mungkin beberapa bulan atau bahkan lebih. Saat ini aku tidak bisa melihat maupun berbicara dengan ibu dan saudara perempuanku. Mungkin saja aku tidak akan punya kesempatan itu lagi. Jika aku mati disini—
Aku akan mati di dunia nyata.
Nerve Gear, yang pernah menjadi sebuah mesin game, sekarang menjadi kunci penjara ini dan alat eksekusi yang akan membakar otakku.
Aku bernapas perlahan menarik dan menghela, dan membuka mulutku.
“Klein, kesini sebentar.”
Aku memegang tangannya, yang terlihat lebih tua dariku di dunia nyata, dan keluar dari kerumunan yang berisik itu.
Kami bisa keluar dari sana dengan lumayan cepat, mungkin karena kami berada di dekat pojokan. kami memasuki salah satu jalan yang menuju keluar plaza dan aku bersembunyi di bayangan dibalik kereta kuda yang tidak bergerak.
“…Klein,” Aku memanggil namanya lagi.
Dia masih terlihat tidak percaya. Aku melanjutkan pembicaraan, berusaha keras agar kata-kataku terdengar serius.
“Dengarkan aku. Aku akan keluar dari kota ini dan menuju ke desa selanjutnya. Ikutlah bersamaku.”
Klein membuka matanya lebar-lebar dibawah bandana nya. Aku terus berbicara dengan suara yang pelan dan memaksa mulutku untuk mengeluarkan kata-kata.
“Jika apa yang dikatakannya benar, untuk bertahan hidup di dunia ini kita harus memperkuat diri kita. Kau tahu kalau kan kalau MMORPG adalah pertarungan untuk memperebutkan sumber daya diantara player. Hanya orang-orang yang bisa mendapat uang dan experience yang paling banyak lah yang bisa menjadi kuat. …orang-orang yang telah menyadari hal ini akan memburu semua monster disekitar «Kota Awal». Kau harus menunggu sangat lama hingga monsternya muncul lagi. Pergi ke desa sebelah sekarang akan lebih baik. Aku tahu jalannya dan semua daerah berbahayanya, jadi aku bisa pergi kesana, meski aku masih level satu.”
Mengingat yang sedang berbicara adalah aku, tumben sekali aku mengatakan kata sebanyak itu, tapi meski begitu dia tetap diam.
Lalu beberapa detik kemudian wajahnya berkerut.
“Tapi…tapi kau tahu. Seperti yang kubilang sebelumnya kalau aku mengantri begitu lama untuk membeli game ini bersama dengan teman-temanku. Mereka pasti sudah log in dan seharusnya mereka masih berada di plaza sekarang. Aku tidak bisa…pergi tanpa mereka.
“…”
Aku menghela napasku dan menggigit bibirku.
Aku bisa mengerti semuanya dengan jelas tentang apa yang ingin dikatakan oleh Klein melalui pandangan gugupnya.
Dia—orang yang ceria dan mudah akrab dengan orang lain, dan mungkin dia sangat memperhatikan teman-temannya. Dia pasti berharap kalau aku bisa membawa semua teman-temannya bersama kami.
Tapi aku tidak bisa mengangguk.
Jika hanya dengan Klein, aku bisa mencapai ke desa berikutnya sambil menjaga kami dari monster-monster yang agresif. Tapi jika ada dua orang lagi—tidak, jika ada satu orang lagi yang ikut—mungkin akan berbahaya.
Jika seseorang mati dalam perjalanan, mereka akan mati seperti yang dikatakan oleh Kayaba.
Tanggung jawabnya pasti akan tertuju padaku yang menyarankan untuk keluar dari «Kota Awal» yang aman dan gagal untuk menjaga teman-temanku.
Aku tidak bisa menanggung beban yang seberat itu. Itu mustahil.
Klein terlihat menyadari kekhawatiranku. Sebuah senyuman muncul di wajahnya yang sedikit berjanggut dan dia menggelengkan kepalanya.
“Tidak…Aku tidak bisa terus bergantung padamu. Aku adalah seorang guild master di game yang biasa kumainkan. Tidak apa-apa. Aku akan baik-baik saja dengan teknik yang kau ajarkan padaku hingga sekarang. Dan…masih ada kemungkinan kalau ini hanyalah sebuah lelucon dan kita akan bisa log off. Jadi jangan khawatirkan kami dan pergilah ke desa itu.”
“…”
Dengan mulutku yang tertutup, aku dibingungkan oleh ketidak-tegasan yang belum pernah kurasakan seumur hidupku.
Lalu aku mengatakan kata yang akan menggerogotiku selama dua tahun kedepan.
“…OK.”
Aku mengangguk , berjalan mundur, dan mengatakannya dengan tenggorokanku yang kering.
“Baiklah, ayo berpisah disini. Jika ada masalah kirimlah pesan padaku. …well, sampai jumpa, Klein.”
Klein memanggilku ketika aku mengalihkan pandanganku dan akan pergi.
“Kirito!”
“…”
Aku menengok tapi dia tidak mengatakan apapun, pipinya hanya bergerak sedikit.
Aku melambaikan tanganku sekali dan berbalik kearah barat laut—kearah desa yang akan kusinggahi.
Ketika aku baru berjalan lima langkah, sebuah suara memanggilku dari belakang lagi.
“Hey, Kirito! Kau terlihat tampan di dunia nyata! Aku agak suka dengan gayamu!”
Aku tersenyum pahit dan menyahut tanpa menengok.
“Wajahmu juga sepuluh kali lebih cocok untukmu!”
Lalu aku meninggalkan teman pertamaku di dunia ini dan berlari lurus tanpa ragu.
Setelah aku berlari melewati jalan yang berangin selama beberapa menit, Aku melihat kebelakang lagi. Tentu saja, tidak ada siapa-siapa disana.
Aku mengabaikan perasaan aneh di dadaku dan berlari.
Aku berlari menuju ke gerbang barat laut dari «Kota Awal» dan kemudian melewati padang yang luas dan hutan yang lebat, kemudian menuju sebuah desa yang terletak dibalik semua itu—menuju game survival tanpa akhir ini.

Sumber : Sword Art Online


 
© Copyright 2035 Awal dari Segalanya
Theme by Yusuf Fikri