Sabtu, 08 Desember 2012

Sayap Merpati



Sudah lama aku tidak merasakan hangatnya senyum Merpati di sekolah. Gadis manis itu memang sangat menarik hatiku. Rambutnya panjang menghitam. Matanya indah bulat dan selalu berkaca-kaca. Bibirnya selalu berwarna merah muda dan tampak basah. Apalagi senyumnya, perempuan manapun akan iri jika melihat senyumnya. Merpati, nama yang bagus. Setiap hari di sekolah, ia selalu mengepakkan sayapnya. Dia tidak pernah terlihat sedih, hanya kebahagiaan yang ada di hidupnya. Ia selalu memberi senyum manis pada setiap orang yang ia temui. Termasuk aku, tapi mungkin dia tak mengenalku. Laki-laki pecundang seperti aku ini tak pantas berada di sampingnya.
Tapi, sudah lama aku tak melihat senyum manis mengembang di bibir basahnya. Hampir setiap saat ia tak mau tersenyum. Kalau tersenyum, pasti terlihat seakan terpaksa. Aku tak tau dengan apa yang terjadi pada Merpati. Dia sering terlihat tak bersemangat. Salah satu sayapnya seakan patah. Tapi, karena apa sayapnya bisa patah?
Siang itu, tepatnya waktu istirahat pertama di sekolah. Aku melihat Merpati sedang melamun di kantin. Tangannya memegang sendok. Tapi, tak sekalipun ia masukan sendok itu ke dalam mulutnya. Pandangan matanya terlihat hampa. Ingin sekali aku menghampirinya tapi seorang lelaki telah duduk di sampingnya.
Malamnya, aku dan mama pergi ke rumah sakit. Bukan karena salah satu dari kami atau dari keluarga kami yang sakit, tapi kami ingin menjemput papa. Papa bekerja sebagai dokter di rumah sakit itu. Kami sekeluarga ingin makan malam bersama di luar.
Sesampainya di sana, aku dan mama langsung menuju ruang kerja papa. Suasana di sana sangat sepi, aku bisa melihat betapa santainya suster yang berjaga hari ini. Tapi, tiba-tiba mataku terdiam dan seakan mengajakku berbalik lalu melihat seseorang. Langkahku mulai berhenti, kulihat seorang gadis masih berseragam SMA. Ya, itu SMA yang sama denganku.
“Sayang…kamu kenapa? Kok berhenti,” Mama memegang pundakku. Aku tersenyum.
“Em…ma, aku mau ke belakang sebentar. Mama duluan aja! Ntar aku nyusul,” Mama tersenyum sambil menganggu lalu mulai berlalu dari hadapanku. Aku kembali memperhatikan gadis berseragam SMA yang sama denganku itu.
Rambutnya hitam. Tas dan jam tangannya sama seperti yang sering dipakai Merpati. Aku mendekatinya dengan rasa penasaran. Semakin dekat, dia seperti Merpati.
“Merpati…” Dia tergagap dan seketika mengusap air mata yang ada di pipinya. Aku duduk di sampingnya. Ia hanya diam saja. Aku baru sadar kalau ternyata Merpati sedang duduk menangis di depan ruang operasi “kamu ngapain di sini?”
Air mata bak berlian itu kembali jatuh dari mata bercahaya Merpati. Bagaikan sebuah batu yang tak sanggup lagi menahan terjangan air laut. Penderitaannya memaksa hatiku untuk ikut larut dalam kesedihannya. Tiba-tiba ia memelukku.
Tak pernah kubayangkan ia akan memelukku seerat ini. Pelukan hangat dari seorang gadis yang selalu membuat hatiku bergetar. Tapi aku tak boleh merasa senang. Karena Merpati memelukku dengan penuh kesedihan. Bisa kubayangkan penderitaannya, air mata yang jatuh di bajuku berhasil menusuk jantungku. Seakan aku bisa merasakan kesedihan Merpati.
“Ayah…” Suaranya lirih hampir tak terdengar.
“Ayah? Ayah kamu kenapa?” Aku mencoba menenangkannya. Kulepas pelukannya dan kuhapus air matanya. Tapi air mata bak berlian itu tak mau reda.
“Kemarin Ayah kecelakaan, kaki kanan dan tangan kirinya patah. Dan sekarang dia di operasi. Aku takut…cuma Ayah keluargaku satu-satunya,” Suara merdunya kembali, aku tau ia mencoba untuk tegar. Tapi air mata bak berlian itu tak mau menyembunyikan keputus asanya. Aku menundukan kepala. Aku tak mampu berkata apa-apa. Papa bukan dokter yang berkecimpung di bidang itu. Walaupun aku merayu Papa untuk membantu Merpati, tetap saja Papa tak bisa melakukan apa-apa.
Tiba-tiba kudengar adzan, ternyata waktu sholat isya telah datang. Aku memandang Merpati. Dia masih sibuk mengusap air mata yang tak mau mereda.
“Mer…kita sholat isya dulu yuk!” Aku memegang pundaknya.
“Tapi, bagaimana dengan Ayah?” Merpati mengerutkan dahi sambil melihat ke ruang operasi.
“Mer…tangisan kamu itu nggak akan ngebantu Ayah kamu. Yang sekarang dibutuhin Ayah kamu itu mukzizat, bukan tangisan kamu! Lebih baik kita sekarang sholat dan berdoa agar Ayah kamu selamat,”
Merpati memandangku dalam. Nampaknya ia sedang berfikir. Tanpa berfikir lebih panjang, aku berdiri dan mengulurkan tangan untuk Merpati. Ia memandang tanganku sejenak lalu membalas uluran tanganku. Dan akhirnya kami sholat isya di mushola yang ada di rumah sakit.
Setelah sholat isya aku berdoa, agar Ayah Merpati selamat. Dan aku bisa merasakan kembali hangatnya senyum Merpati.
Aku bertemu Merpati di depan mushola. Ia duduk tanpa pose sambil menunduk. Aku mendekatinya.
“Mer…kamu kok cepet banget sih sholatnya?”
Merpati tetap pada keadaan semula.
“Mer…kamu kenapa?”
“Ayah…” Merpati terlihat bimbang. Ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Sedetik kemudian Merpati berlari. Ia menuju ruang operasi. Nalar ku tak bisa mengikutinya secepat itu. Dan setelah aku berhasil mengejarnya. Sudah kulihat ia meronta didepanku. Air matanya berjatuhan. Sayapnya pun patah. Aku hanya bisa terdiam melihatnya.
Hari selanjutnya akan menjadi hari yang biasa bagiku atau bagi orang lain. Karena aku tak bisa melihat senyum Merpati dan merasakan sayapnya bergerak penuh semangat lagi. Harinya semakin muram saja. Aku pun tak ada semangat. Merpati gadis yang luar biasa memberi pengaruh besar untukku. Dan sekarang, dia hitam aku pun menjadi hitam. Dunia ini juga hitam. Apalagi Bumi.
Cerpen Karangan: Ary Yunita

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Awal dari Segalanya
Theme by Yusuf Fikri