Kamis, 29 November 2012

[Lanjutan] Musibah 27 Mei "Kabar Duka dari Yogya"

Lanjutan


Gempa Susulan

Setelah situasi guncangan gempa tektonik dengan kekuatan 5,9 skala richter reda, aku dan istri serta kedua anak putraku masuk ke dalam rumah kembali. Kami berusaha memeriksa keadaan rumah. Ternyata, sebagian besar dinding tembok rumahku retak.

Semua barang dan perkakas rumah yang ada di dapur, berantakan. Pecahan piring dan gelas, berserakan dimana-mana. Beberapa ada yang melukai telapak kakiku. Maklum, kondisi di rumahkku saat itu lagi gelap-gulita. Sehingga, aku tidak sadar kalau kakiku telah menginjak pecahan gelas. Tapi tidak kugubris.

Kami kemudian masuk ke kamar. Aku melihat, tembok dinding kamarku juga pecah. Lemari pakaian tumbang. Beberapa foto yang diletakkan di dinding tembok, jatuh ke lantai. Tatkala aku dan istri akan beres-beres, ternyata bumi tempat kami berpijak masih menggeliat. Meski getarannya tidak begitu besar seperti yang pertama, namun efek dari gelombang getaran yang muncul kedua itu, justru membawa dampak sangat besar. Pasalnya, bersamaan dengan munculnya getaran yang kedua itu, tiba-tiba tembok dan atap rumahku roboh. "Gluduk-gluduk,....kraaak....krak...bruuug...piyar...!" Begitulah kurang lebih bunyi suara getaran bumi dan gesekan atap rumahku yang sempat kurekam dalam ingatanku waktu itu.

Walhasil, kami pun terkurung dalam timbunan atap rumah dan tembok kamar. Beberapa pecahan genting yang mendarat persis di umun-ubunku. Posisi kami saat itu betul-betul tidak bisa bergerak. Apalagi gelombang gempa kedua belum selesai. Getarannya masih terasa. Karenanya, aku berusaha memeluk dan mendekap istri serta anakku rapat-rapat agar tidak banyak melalukan gerakan.

Sebab, jika dalam posisi seperti itu mereka banyak bergerak, aku khawatir, lipatan tembok yang bertemu antar unjung tembok satu dengan tembok lainya, akan menimpa tubuh mereka. Maka itu, aku pasang badan untuk melindungi mereka. Untunglah, Tuhan Yang Sebenarnya masih melindungi nyawa kami sekeluarga. "Allahu Akbar..Allahu Akbar..!" aku berteriak histeris.

Yang jelas, waktu itu aku belum sadar kalau kepalaku bocor akibat terkena pecahan genting. Aku baru sadar kalau di kepalaku ada pecahan genting, setelah istri dan anakku berhasil keluar dari timbunan tembok kamar dan kerangka atap rumah kami. Untuk beberapa saat, aku cuma tertegun menyaksikan fenomena alam yang tak pernah terlintas dalam pikiranku.

Aku betul-betul tidak mengira, ternyata gempa susulan saat itu bakal meluluh-lantakkan semua bangunan rumahku. Apalagi jika dilihat dari aspek konstruksi bangunan yang memang dirancang untuk tahan gempa oleh salah satu teman arsitekku. Karena itu, ketika seluruh bangunan rumahkku roboh, aku jadi tercenung.

Dalam hati aku bertanya-tanya: "Jika rumah yang didesign tahan gempa saja bisa roboh diterjang gempa susulan yang skalanya lebih kecil dari gempa pertama, lalu bagaimana keadaan bangunan yang dibuat tanpa mempertimbangkan kemungkinan terjadinya gempa? Padahal, gempa pertama itu skalanya cukup tinggi?"

Semula aku sempat berburuk sangka kepada temanku yang telah kuberi kepercayaan untuk merancang sekaligus membangun rumahku. Pikiran kotor itu bertengger dalam otakku."Ini terjadi pasti karena temanku telah 'menyunat' anggaran dan bahan pokok untuk keperluan membangun rumahku, seperti yang sering dilakukan oleh kebanyakan kontraktor ketika menangani proyek pemerintah. Akibatnya, bangunan yang dibuat tidak sesuai dengan perencanaan di atas kertas. Aku tidak terima. Nanti akan aku tuntut!" ujarku dalam hati.

Pikiran 'kotorku' menjadi buyar, setelah aku mendengar jerit tangis putra bungsuku yang berada di bawah tubuhku. Karena ruang tersisa dalam tumpukan bangunan tembok dan atap rumah yang menimpa kami sanagat terbatas, membuat aku tidak bisa berkutik. Aku menjerit minta pertolongan. Kurang lebih satu menit lamanya aku menjerit minta bantuan. Tapi, tidak ada tanda-tanda bakal datangnya bantuan dari orang yang ada disekitar tempat tinggalku.

Padahal, waktu itu, suasana relatif cukup sepi. Sehingga, aku yakib betul, jeritanku saat itu pasti terdengar dengan jelas oleh tetangga di sekitar tempat tinggalku. Apalagi orang yang bermukim di sekitarku tidak begitu banyak. Cuma 10 keluarga.

Ternyata pikiranku keliru. Belakangan aku baru tahu. Setelah berhasil berjuang keras membongkar tumpukan bangunan yang telah 'memenjara' kami saat itu, ternyata sebagian besar warga di dekat rumahku, telah meninggal dunia karena terkena runtuhan bangunan rumahnya masing-masing. Yang tersisa, hanya kami sekeluarga.

Bersambung....

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Awal dari Segalanya
Theme by Yusuf Fikri