Selasa, 27 November 2012

Musibah 27 Mei "Kabar Duka dari Yogya"

Firman R. Mazayasyah


Yap, ketemu sama gue, kali ini gue mau share ke kalian semua tentang sebuah buku yg "mungkin" bisa menggugah hati kalian semua untuk saling peduli sesama. Haha,, tinggi banget bahasa gue ya.. Sebenernya gue punya buku ini udah lama, tapi entah kenapa baru kali ini kepikiran untuk share ke kalian semua. Oke, gak perlu lama-lama, langsung aja simak ceritanya ^.^

"Toloooong ... Ada Lindhu!"

Yogyakarta, Sabtu pagi, 27 Mei 2006, pukul 05.00 wib. Aku bangun dari tidur, setelah lembur menyelesaikan tugas hingga pukul 03.00 wib. Seperti biasanya, sebelum mengambil air wudlu untuk shalat subuh, aku memandang langit. Pagi itu, langit di atas kota Yogyakarta, tidak seperti biasanya. Tak sedikitpun awan yang biasanya menggumpal. Langit terlihat begitu bening. Sekelompok burung camar dalam jumlah kecil, terbang membentuk formasi segitiga dari selatan menuju utara. Indah sekali.

Begitu juga keadaan gunung Merapi, yang berada di perbatasan Yogyakarta - Jawa Tengah, nampak begitu jelas. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, gunung yang sempat membuat masyarakat dunia jadi 'kesal' - karena ulahnya yang 'tidak umum' dan sulit diprediksi - itu, biasanya malu-malu memperlihatkan jati dirinya. Ia lebih senang menutupi dirinya dengan kabut tebal. Tapi, pagi itu, tubuh dan lekuk otot-ototnya terlihat sangat jelas. Mirip seorang binaragawan yang tengah 'memamerkan' keindahan tubuhnya di hadapan para penontonnya.

Setelah shalat subuh, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur busa yang ada di sampingku. Maklumlah, saat itu, tubuhku mengajak untuk melanjutkan waktu istirahatku yang baru berlangsung sekitar dua jam. Jarum jam dinding di tembok kamarku menunjukan pukul 05.10 wib. Sebelum merebahkan di atas kasur, kulihat kedua anakku yang masih berusia balita sedang tertidur lelap. Wajahnya begitu mempesona. Sedang istriku, selesai shalat subuh, langsung beres-beres. Setelah itu, ia mencuci pakaian di sumur belakang rumahku.

Anehnya, meski mataku terasa berat dan ingin segera tidur, namun pagi ini tubuhku tidak ingin segera menuju ke peraduan. Aku masih terpesona menatap wajah kedua anakku yang pagi itu memancarkan cahaya indah sekali. Tak henti-hentinya aku menciumi kening dan pipi mereka. Ketika jarum jam di tembok kamarku meunjuk ke angka 05.50 wib, barulah tubuhku berkenan untuk rebah persis di antara kedua putraku. Putra pertama disebelah kanan dan yang bungsu di sebelah kiriku.

Setelah rebah di atas kasur, entah beberapa detik kebudian, aku sudah tidak sadar lagi. Mataku terpejam dan pikiranku pun ikut istirahat. Bahkan, ketika aku sudah lelap tidur, aku tidak tahu kalau putra pertamaku telah bangun dari tidurnya. Pada saat itulah, tiba-tiba kasurku terasa diayun-ayun. Tubuhku seperti sedang digoyang-goyang. Tak lama setelah itu, mataku terbuka dan melihat bagaimana langit-langit di atas kamarku bergerak kesana-kemari.

Dalam hitungan detik berikutnya, aku bangkit dari kasur. Saat itulah, aku mendengar gemuruh suara tetangga di sekitar tempat tinggalku. Belakangan aku baru sadar, ternyata suara jeritan mereka itulah yang telah membangunkan aku dari tidur, "Toloooong...toloong...toloooooong...ada lindhu (gempa)" 

Tanpa pikir panjang, aku langsung menggendong putra pertamaku, Aku berusaha membawanya keluar dari rumah menuju tempat aman. Tapi usahaku nyaris menemui kebuntuan. Pasalnya, dalam kondisiku sedang blank karena pengaruh bangun tidur yang dipaksaan saat itu, aku tidak lagi memikirkan bagaimana peta bangunan rumahku. Yang ada dalam pikiranku cuma satu: Bagaimana caranya agar aku dan anak-anak bisa keluar dari rumah? Aku tidak sempat lagi berpikir bagaimana kondisi istriku saat itu.

Dengan berjuang keras melawan goncangan dahsyat yang timbul akibat gempa tektonik dengan kekuatan 5,9 skala richter, aku berusaha membuka kunci pintu rumahku. Tapi, setiap kali tanganku mencoba menggapai tangkai kuncinya, tubuhku terpelanting kesana-kemari. Aku nyaris putus asa. Tapi, anehnya,meski tubuhku terlempar dan terjerembab, semangat untuk keluar mencari posisi aman, semakin menguat hingga akhirnya aku berhasil membuka paksa pintu rumahku.

Saat akan keluar dari rumah, tiba-tiba istriku datang dari arah dapur sambil berlari-lari membawa pakaian yang akan dia jemur. Dia kemudian mengikuti gerakkanku dari belakang menuju halaman depan rumah. Aku baru sadar kalau putra bungsuku masih berada di dalam kamar, setelah aku, istri dan putra pertamaku berada diluar rumah. Tadinya aku pikir, yang dipegang istriku saat itu adalah putra bungsuku. Ternyata baju yang akan dia jemur.

Seketika itu juga, aku lari masuk kedalam rumah guna mengevakuasi putra bungsuku yang masih tidur lelap. Aku lagi memperhitungkan rasa takut dan cemas akibat goncangan bumi yang makin dahsyat. Saat berada di ruang tengah, aku sempat panik. Pasalnya, lampu listrik yang menerangi ruang tengah dan kamarku mendadak padam. Penglihatanku jadi terganggu karen kondisi ruang gelap-gulita.

Syukurnya, Tuhan Yang Sebenarnya masih berkenan menuntun gerak reflek tubuhku dan penglihatanku. Sehingga, putra bungsuku berhasil ku evakuasi ke lokasi yang lebih aman. Terima kasih Tuhan. Engkau telah menyelamatkan kami sekeluarga.

Bersambung....

0 komentar:

Posting Komentar

 
© Copyright 2035 Awal dari Segalanya
Theme by Yusuf Fikri